
Demikianlah hingga saya lulus kuliah tahun 1995. Saya lalui hidup saya begitu saja dengan setumpuk bacaan ringan. Ada satu bacaan yang sangat saya suka, sebuah novel, Para Priyayi, karya Umar Kayam [almarhum Th.2002]. Novel ini setidaknya juga memberikan warna pada aspek kepribadian saya. Sebagai wanita Jawa, wanita Indonesia. Sedangkan tentang akademis, saya melaluinya tanpa ada prestasi. Sepanjang perjalanan studi, ada pelajaran yang membuat saya semakin pusing mendengarnya. Matematika. Nilai matematika hampir nyaris 100% merah. Nilai nol sampai enam menghiasi selama studi saya. Pelajaran matematika bisa membuat saya mendadak gemetaran dan serangan sesak nafas. Saya juga sangat trauma dengan pelajaran tentang sudut dan navigasi. Yang hingga kini, saya pun masih tidak memahami apa arah mata angin. Saya hanya tahu arah barat (kiblat, khusus di
Untuk menghindari pelajaran berhitung, saya ingin memilih studi sastra saja. Tapi ternyata, tidak dibolehkan oleh orang tua. Apalagi jurusan kejuruan tataboga, lebih tidak direstui. SMA jurusan ilmu sosial akhirnya sebagai pilihan. Sebuah pilihan karena tidak ada pilihan lain. Syukurlah, melalui Umptn saya diterima jurusan Public Administration, Universitas Brawijaya,
Hobby memasak, sejak awal mengalir dari ibu saya kepada diri saya. Demikianlah, ketimbang saudara-saudara perempuan saya. Sejak usia muda (SMP), saya sudah berani mimpi besar, ingin punya resto terkenal atau usaha bidang kuliner. Rosi muda sebenarnya juga selalu ingin mengikuti kursus memasak. Tapi, sampai sekarang keinginan kursus itu belum pernah terlaksana. Pun akhirnya, kesukaan memasak, menggambar, dan melukis-lah yang telah menghantarkan saya mempunyai jiwa seni memasak. Jiwa inilah akhirnya terpatri sangat dalam pada diri saya. Hingga akhirnya, Saya melukiskan imajinasi saya melalui hiasan pada donat kampoeng.
Di Jombang, saya tinggal setelah dewasa. Saya pun akhirnya bisa sangat memahami karakter konsumsi masyarakat Jombang. Kali pertama donat kampoeng utami launching, saya focus pada pasar menengah-bawah. Saya berangkat dengan kesungguhan dan fokus. Saya hanya punya modal kerja awal Rp 100.000,-, kemauan, semangat, kerja keras, dan konsisten. Melayani tidak pernah berhenti. Pun sampai sekarang, saya masih tidak tahu makna kerja cerdas. Seperti yang dikatakan oleh banyak motivator ternama. Saya memberikan pelayanan kepada semua masyarakat yang ingin berkelas, namun dengan dana minimum. Harga Rp 500,-. Keputusan harga yang sangat berani dan sangat berisiko. Harga mati untuk produk donat kampoeng buatan saya. Sehat, berKelas, terMurah. Tapi, jangan tanya keuntungan finansial yang saya peroleh. Minus, Nol, atau justru Plus sangat besar? Semua orang, boleh menghitung keuntungan saya, atau justru merugi? The Long Tail adalah inspirator saya. Saat ini, walaupun donat kampoeng utami disukai semua lapisan masyarakat, justru masyarakat kelas menengah-atas yang lebih dulu merespon dengan kesungguhan statemen; "Bahwa produk donat kampoeng utami sebagai salah satu produk bermutu dan termurah di kelasnya". (ros*).
Selamat ! Semoga inovasi dan motivasi yang dilakukan Donat Kampung Utami memberikan manfaat bagi kita semua, kecuali para birokrat dan legislator yang hanya bisa mengklaim keberhasilan seseorang sebagai binaanya. Saya sangat mendukung apa yang sudah dan akan Ibu lakukan demi menumbuhkan Midle Class di Indonesia biar tidak semua harus korupsi seperti sekarang !
ReplyDelete